Tanggal 12 Oktober 2011 yang lalu, Nabil Award diberikan kepada Ibu Saparinah Sadli, terutama untuk jasanya di bidang gender dan kemanusiaan. Tentunya Ibu Saparinah sangat layak menerima penghargaan dalam bidang "nation building" itu.
Dalam pidatonya yang sangat tegar dan runtut, ia memberikan pemahaman tentang permasalahan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang masih terus terjadi:
".. masih maraknya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan karena ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki atau ketidaksetaraan gender. Sesuatu kondisi yang bukan isu perempuan karena gender tidak identik dengan perempuan. Gender adalah hasil internalisasi sejak seseorang dilahirkan secara biologis dan kemudian segera belajar untuk bisa menjadi manusia yang beradab.
Ada pun misinterpretasi terhadap istilah gender berkontribusi pada bertahannya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga perlu dicari bersama bagaimana agar isu gender seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan diyakini sebagai bukan isu perempuan tetapi isu kemanusiaan yang beradab. "
Selamat dan terima kasih, Ibu Sap, untuk perjuanganmu yang tidak kenal lelah, bagi kemanusiaan.
- - -
LAPORAN NABIL AWARD 12 OKTOBER 2011
Yayasan Melly dan Eddie Lembong untuk Nation Building (Nabil) kembali menganugerahkan Nabil Award, pada tanggal 12 Oktober 2011. Tahun ini adalah perayaan yang ke lima, dengan tema: “MEMULIAKAN KEMANUSIAAN: …TERNYATA KITA SEMUA BERSAUDARA“. Adapun pemenangnya adalah Prof. (Emeritus) Dr. Saparinah Sadli, salah satu pelopor di bidang studi perempuan dan gender di Indonesia, serta seorang aktivis di bidang isu perempuan dan kemanusiaan. Kemenangan ini menjadikan beliau sebagai pemenang ke-10 Nabil Award.
Ketua Pendiri Yayasan Nabil, Eddie Lembong, berhalangan hadir karena alasan kesehatan dan diwakili oleh Melly Lembong beserta kedua putra, Andre dan Roy Lembong. Mereka tampil ke muka menyerahkan hadiah bagi Saparinah. Uniknya, pemenang kemudian meneruskan hadiah uang yang diterimanya kepada tiga organisasi perempuan: Pundi Perempuan (Komnas Perempuan), Yayasan Pendidikan Nusantara Kartini dan Saparinah Sadli Award.
Sebagai penghormatan atas komitmen dan kepedulian Saparinah pada isu perempuan dan gender, maka Eddie Lembong berinisiatif menambahkan jumlah hadiah yang diberikan oleh Saparinah kepada tiga pihak yang telah dipilih, dengan jumlah yang sama.
Dalam pidato pertanggungjawaban, anggota Dewan Pakar Nabil, Didi Kwartanada menyebutkan tiga aspek sumbangsih Saparinah Sadli yang dinilai memenuhi kriteria pemenang Nabil Award. Pertama kontribusi Saparinah dalam bidang psikologi. Kedua, sumbangsih Saparinah dalam bidang studi perempuan dan gender. Ketiga, Saparinah selaku Aktivis isu perempuan dan kemanusiaan
Sisi aktivisme Saparinah dalam perjuangan menentang kekerasan terhadap perempuan memuncak karena meletusnya Tragedi Mei 1998. Saat terdengar kabar terjadinya pelecehan seksual terhadap kalangan perempuan, yang juga menimpa perempuan dari kalangan Tionghoa, ia mampu menyatukan tokoh-tokoh perempuan dari berbagai elemen. Bersama-sama mereka menghadap Presiden Habibie dan meminta pemerintah untuk minta maaf atas kekerasan seksual tersebut serta menindaklanjutinya. Bola salju yang digulirkan Saparinah dan kawan-kawannya ini kemudian menjadi semakin besar dengan dibentuknya Komnas Perempuan, yang hingga kini tetap teguh berjuang dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan. Saparinah menjadi ketua pertama Komnas Perempuan hingga tahun 2002, di samping juga menjabat Wakil Ketua Komnas HAM dari 1999-2001.
Di bulan Mei 2007, Komnas Perempuan menunjuk Saparinah selaku “Pelapor Khusus tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya”. Hasil pelaporan Saparinah dan Komnas Perempuan ini ternyata mampu memberikan perasaan “tidak sendiri” pada perempuan Tionghoa. Sebelumnya mereka merasa harus bergulat sendirian dengan masalah dan ingatan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.
Maka dari sudut kebangsaan, aksi humaniter yang dilakukan Saparinah bersama kawan-kawan merupakan upaya memperkuat “mata rantai lemah” dalam nation building kita, yakni menggandeng etnis Tionghoa sebagai sesama elemen bangsa yang sederajat dan setara, tanpa adanya sekat-sekat pembedaan.
Dalam pidato penerimaannya, Saparinah menekankan pentingnya sila ke 2 Panca Sila yang ditambah kata 'jender', sehingga menjadi “Kemanusiaan yang Adil Jender dan Beradab” dan sedikit penjelasan mengapa hal itu penting.
Hadir pula dalam acara tersebut adalah Sinta Nuriyah Wahid, Prof Dr Juwono Soedarsono, AM Fatwa serta tokoh-tokoh Tionghoa seperti Pandji Wisaksana, Yoza Suryawan dan Bambang Suryono (Pemred Guoji). ***
- - -
Pidato Ibu Saparinah:
Membangun Bangsa:
Mewujudkan Kemanusiaan yang Adil Gender dan Beradab#
Ass Wr Wb,
Slamat sore Hadirin Yth,
Pertama-tama saya ingin menyampaikan terimakasih atas kesediaan saudara-saudara yang telah meluangkan waktu untuk hadir pada malam pemberian Nabil Award tahun ke-5, yang pilihannya jatuh kepada saya. Yayasan Nabil adalah organsasi yang mempunyai visi dan misi membangun bangsa (nation building). Justru terkait dengan visi dan misi Yayasan Nabil inilah maka saya tertegun dan ragu ketika Ketua Yayasan Nabil, Drs. Eddie Lembong menyampaikan bahwa sayalah yang terpilih. Saya menyampaikan bahwa apa yang saya kerjakan, khususnya saat terjadi kerusuhan yang sekarang dikenal sebagai Tragedi Mei 1998, tidak hanya menyangkut pribadi saya tetapi merupakan hasil kerja BERSAMA sejumlah perempuan dari berbagai usia, agama dan etnisitas. Karenanya, saya anggap bahwa Nabil Award yang meskipun diterimakan kepada saya, bukan hanya untuk saya tetapi juga untuk mereka. Para perempuan yang telah mengajak saya untuk bersama bergerak terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, khusunya pelanggaran hak asasi perempuan saat terjadi kerusuhan bulan mei 1990 yang hingga kini masih meninggalkan berbagai segi gelap. Untuk ini saya ingin terlebih dahulu memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa apa yang pernah saya kerjakan dianggap berguna dalam kehidupan bersama. Apalagi mengingat bahwa kerja perempuan lebih banyak dianggap biasa, hingga jarang mendapat perhatian khusus. Yayasan Nabil merupakan pengecualian karena dari 10 Award yang pernah diberikan, 6 diantaranya diberikan kepada perempuan.
Perempuan Indonesia dalam membangun bangsa sebenarnya tidak pernah absen. Sejak sebelum kemerdekaan. Namun kontribusi mereka jarang tercatat dalam sejarah bangsa. Sebagai generasi pertama, mereka cikal bakal gerakan perempuan Indonesia yang telah merintis, dengan cara dan strategi sesuai zamannya, membangun kemanusiaan yang adil dan beradab. Tema yang telah saya pilih untuk dibahas dari perspektif gender.
Hadirin yang terhormat,
Refleksi terhadap kerusuhan Bulan Mei 1998 menunjukkan bahwa peristiwa ini telah meninggalkan trauma bagi para korbannya yang sebagian besar terdiri dari warga miskin kota dan sejumlah perempuan keturunan etnik Tionghoa yang telah mengalami perkosaan massal. Suatu peristiwa yang mengejutkan meskipun kekerasan terhadap perempuan sebenarnya sudah ada sejak peradaban manusia. Tetapi di Indonesia untuk pertama kalinya diangkat sebagai isu publik.
Sehubungan dengan itu, saya memilih sebagai topik bahasan Mewujudkan Kemanusiaan yang Adil GENDER dan Beradab karena formulasi yang neutral gender dalam implementasinya seringkali menyebabkan bahwa kekhususan warga tertentu, seperti perempuan, lepas dari perhatian. Apalagi hingga sekarang masih ada stereotipi yang dianut oleh banyak laki-laki dan juga perempuan yang menempatkan peremuan inferior dibandingkan dengan laki-laki (yang superior). Juga karena nilai-nilai adat, budaya, agama, juga masih ada yang menempatkan perempuan sebagai ‘kurang sempurna’. Sehingga dalam kehidupan bersama diskriminasi terhadap perempuan tetap terjadi meskipun kita sudah memiliki undang-undang tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan kebijakan pengarusutamaan gender yang secara de jure menjanjikan tercapainya kesetaraan gender. Namun, kalaupun berjalan, secara de facto masih berlangsung lamban. Kunci permasalahannya terletak pad aelit politik, perempuan dan laki-laki, yang masih memandang sebelah mata berbagai isu perempuan dan meminggirkannya sebagai tanggungjawab perempuan dan bukan tanggungjawab bersama.
Jika tema yang saya pilih terkait pada Sila ke-2 dari Pancasila, hal ini sama sekali btidak ada keinginan mengubah formulasinya, tetapi lebih ingin mendudukkan permasalahan yang terutama dialami perempuan sebagai permasalahan sesama manusia. Seperti masih maraknya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan karena ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki atau ketidaksetaraan gender. Sesuatu kondisi yang bukan isu perempuan karena gender tidak identik dengan perempuan. Gender adalah hasil internalisasi sejak seseorang dilahirkan secara biologis dan kemudian segera belajar untuk bisa menjadi manusia yang beradab.
Adapaun misinterpretasi terhadap istilah gender berkontribusi pada bertahannya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga perlu dicari bersama bagaimana agar isu gender seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan diyakini sebagai bukan isu perempuan tetapi isu kemanusiaan yang beradab. Dalam masyarakat kita yang patriarkhal danmasih rindu akan pentauladanan, isu gender masih membutuhkan perhatian bersama, terutama dari para elit politik dan lain warga yang diposisikan untuk memberi tauladan.
Perkosaan adalah suatu bentuk kekerasan berbasis gender. Perempuan yang diperkosa atau mengalami percobaan perkosaan sama-sama mengalami trauma yang berdampak pada seluruh jati diri perempuan meskipun yang diserang adalah fisiknya. Para analisis gender menggolongkan perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang bersumber pada ketimpangan kekuasaan dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Relasi gender yang timpang terus menggejala di tengah-tengah proses perubahan masyarakat yang kini membuka peluang lebar bagi perempuan dan laki-laki untuk menyumbang tenaga dan fikirannya bagi pembangunan bangsa sehingga sekarang cukup banya perempuan dapat memilih untuk berkiprah di ruang publik. Tidak hanya karena terpaksa atau untuk menopang ekonomi keluarganya, tetapi juga untuk dapat mengaktualisasikan potensi dirinya secara optimal. Namun demikian, tidak bisa diingkari bahwa sampai hari ini masih cukup banyak perempuan mengalami diskriminasi dan belum selalu diperlakukan secara adil.
Bahwa kekerasan terahdap perempuan justru meningkat dalam dekade terakhir ini dilaporkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), lembaga yang didirikan dalam Oktober 1998 sebagai hasil tuntutan sejumlah perempuan pada pemerintahan Pasca Orde Baru. Komnas Perempuan Sejak 2002 secara rutin mengumumkan hasil dokumentasinya yang antara lain mencatat bahwa: berbagai bentuk kekerasan berbasis gender setiap tahunnya meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Korbannya terdiri dari perempuan dan anak perempuan lintas pendidikan, agama, sosial ekonomi dan etnisitas. Pelakunya adalah negara, komunitas dan individu (termasuk suami, pacar, kakak, kakek dan tetangga dekat). Juga tercatat adanya sejumlah PERDA yang mendiskriminasikan perempuan dengan mengatur sekaligus mengontrol penampilan dan perilaku perempuan. Suatu kondisi sosial yang mencerminkan bahwa aspirasi bangsa untuk membangun Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila ke-5) dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sila ke-2) meskipun sudah ada landasan legalnya, namun secara de facto belum bisa dinikmati seluruh warga, khususnya perempuan.
Artinya: sudah 66 tahun merdeka dan telah pula berupaya membangun jati diri bangsa sesuai filsafat negara. Yaitu menghormati keberagaman nilai-nilai budaya dan agama, mengupayakan kesejahteraan untuk semua, dan belajar menghormati perbedaan antar manusia. Bahwa hingga sekarang kelompok manusia yang berjenis kelamin perempuan masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender menunjukkan bahwa menghormati hak asasi perempuan sebagai sesama manusia masih merupakan impian bagi cukup banyak perempuan. Contohnya: di tengah-tengah kesempatan yang telah bisa diraih dan dinikmati perempuan Indonesia, masih saja lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki yang hak pendidikannya dilanggar. Karena meskipun ada Wajib Belajar 9 Tahun, akses anak perempuan terhadap pendidikan masih mengalami kendala, khusunya anak perempuan keluarga ekonomi kurang mampu. Mereka tetap dihadang oleh tradisi dan nilai budaya yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-aki yang diposisikan sebagai calon kepala keluarga. Faktor lain yang terus menggejalanya kawin dini bagi anak perempua yang selain karena tradisi juga karena dihimpit kondisi sosial ekonomi yang rendah. Tidak terpenuhinya hak pendidikan anak perempuan akhir-akhir ini makin diperparah dengan menggejalanya perdagangan anak perempuan. Faktor-faktor yang selanjutnya berkontribusi pada terlanggarnya hak kesehatan reproduksi perempuan. Karena terjadi kehamilian pada usia dini yang berarti sistem dan organ reproduksinya belum siap mendukung kehamilannya. Sedang aborsi tidak aman telah berkontribusi sebanyak 13% pada Angka Kematian Ibu (AKI), yang masih tertinggi di Asia, yang berarati hak hidup perempuan Indonesia masih dilanggar. Ini berlangsung di tengah-tengah kemajuan tekhnologi kedokteran yang sebenarnya dapat membantu agar ketika ibumelahirkan tidak perlu mengakibatkan kematian. Masih dialnggarnya hak pendidikan anak perempuan berarti bahwa akses perempuan pada berbagai informasi dibendung. Masih dilanggarnya hak pendidikan anak perempuan karenanya adalah isu gender yang serius karena berkontribusi pada sulitnya memutuskan siklus kemiskinan jutaan manusia Indonesia.
Semua ini adalah sekelumit contoh bahwa masih berlangsungnya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender maka aspirasi meujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab belum bisa dinikmati setiap perempuan. Ironisnya adalah bahwa diskriminasi berbasis gender juga dilakukan oleh para elit politik. Contohnya: ketika diumumkan bahwa calon menteri perempuan perlu memenuhi kriteria ‘harus berkualitas’. Suatu kriteria yang tidak berlaku bagi calon menteri laki-laki. Namun, ketika dilansir di media, ternyata anggota masyarakat pada umumnya menganggap sebagai ‘lumrah’ atau biasa. Sedang kekerasan verbal yang dilontarkan seorang pejabat dalam kaitannya dengan perkosaan adalah contoh bahwa ‘mindset’ para elit politik tidak menganggap diskriminasi terhadap perempuan sebagai maslah negara/nasional yang merugikan kemanusiaan warga yang berjenis kelamin perempuan. Ini terjadi meskipun 27 tahun yang lalu Indonesia mensyahkan UU No. 7/84 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (hasil ratifikasi CEDAW).
Tetapi perlu diakui bahwa relasi perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran domestik dan publik jelas mengalami perubahan. Cukup banyak suami yang menganggap istrinya sebagai ‘mitra sejajar’, banyak laki-laki yang berperan sebagai atasan memberlakukan sekretarisnya yang kebanyakan terdiri dari perempuan, sebagai sesama rekan kerja. Namun, ini tidak berarti bahwa kekerasan domestik berbasis gender sudah berhenti sebagaimana dilaporkan oleh Kepolisian, Rumah Sakit, Pengadilan Agama dan Women’s Crisis Centers. Bahwa kekerasan berbasis gender di lingkup kerja publik belum banyak dilaporkan disebabkan karena masih disimpan rapih di belakang pintu kantor. Alasannya bermacam, seperti: perempuan korban masih malu dan takut melaporkannya, perempuan korban MEMILIH mengalah dengan cara pindah kerja atau malah berhenti kerja di ruang publik. Hal ini diperparah dengan masih adanya stigmatisasi publik yang lebih cepat menyalahkan korban daripada pelakunya.
Hadirin Yth,
Bila kita serius ingin mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab dalam artian adil bagi laki-laki dan perempuan dan menumbukan rasa aman bagi semua, maka beberapa hal masih menjadi pekerjaan rumah bersama, seperti:
- Para elit politik, tokoh agama, pendidik dan masyarakat hingga orangtua menyadari bahwa penghapusan ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki dalam mengisi peran domestik dan publiknya adalah tanggung jawab bersama. Meskipun perempuan sudah bisa aktif di berbagai ruang publik, malahan sudah bisa memasuki jenis pekerjaan yang tadinya dimonopoli oleh laki-laki, tidak sekaligus berarti ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki telah usai.
- Kebijakan menghimpun data yang terpilah gender sampai sekarang masih terbatas. Padahal kebijakan negara yang dibuat tanpa data terpilah gender merupakan salah satu sebab bahwa kebutuhan khusus perempuan tidak diperhatikan.
- Diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terjadi baik saat damai maupun ketika terjadi konflik. Kerentanan perempuan dalam situasi konflik terjadi sejak awal hingga usainya konflik. Tetapi kebijakan yang dibuat ketika terjadi konflik atau terjadi bencana alam hampir tidak pernah memperhatikan kebutuhan khusus perempuan. Terlupakan bahwa dalam situasi pasca konflik atau terjadi bencana alam perempuan tetap dibebani dengan tugas-tugas domestiknya. Kita masih memerlukan lebih banya pembuat kebijakan yang sensitif gender dan memahami bahwa perbedaan biologis dan psikososial antara perempuan dan laki-laki perlu diperhatikan kalau kita ingin mewujudkan Kemanusiaan yang Adil Gender dan Beradab.
Demikianlah apa yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini. Terimakasih atas perhatian Saudara sekalian dan kepada Yayasan Nabil yang memberi ruang kepada saya untuk membahas pembangunan bangsa dari perspektif gender. Khususnya kepada ketua Yayasan Nabil, Drs. Eddie Lembong yang berhalangan hadir sore hari ini, saya ikut mendoakan semoga kesehatannya akan cepat pulih kembali dan bisa beraktivitas speerti semula. Amien. Wss. Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar