Rabu, 19 Oktober 2011

Nabil Award 2011: Ibu Saparinah Sadli

Tanggal 12 Oktober 2011 yang lalu, Nabil Award diberikan kepada Ibu Saparinah Sadli, terutama untuk jasanya di bidang gender dan kemanusiaan. Tentunya Ibu Saparinah sangat layak menerima penghargaan dalam bidang "nation building" itu. 

Dalam pidatonya yang sangat tegar dan runtut, ia memberikan pemahaman tentang permasalahan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang masih terus terjadi:
".. masih maraknya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan karena ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki atau ketidaksetaraan gender.  Sesuatu kondisi yang bukan isu perempuan karena gender tidak identik dengan perempuan. Gender adalah hasil internalisasi sejak seseorang dilahirkan secara biologis dan kemudian segera belajar untuk bisa menjadi manusia yang beradab.
Ada pun misinterpretasi terhadap istilah gender berkontribusi pada bertahannya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga perlu dicari bersama bagaimana agar isu gender seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan diyakini sebagai bukan isu perempuan tetapi isu kemanusiaan yang beradab. "


Selamat dan terima kasih, Ibu Sap, untuk perjuanganmu yang tidak kenal lelah, bagi kemanusiaan.

- - -



LAPORAN NABIL AWARD 12 OKTOBER 2011


Yayasan Melly dan Eddie Lembong untuk Nation Building (Nabil) kembali  menganugerahkan Nabil Award, pada tanggal 12 Oktober 2011. Tahun ini adalah perayaan yang ke lima, dengan tema: “MEMULIAKAN KEMANUSIAAN: …TERNYATA KITA SEMUA BERSAUDARA“. Adapun pemenangnya adalah Prof. (Emeritus) Dr. Saparinah Sadli, salah satu pelopor di bidang studi perempuan dan gender di Indonesia, serta seorang aktivis di bidang isu perempuan dan kemanusiaan. Kemenangan ini menjadikan beliau sebagai pemenang ke-10 Nabil Award.

Ketua Pendiri Yayasan Nabil, Eddie Lembong, berhalangan hadir karena alasan kesehatan dan diwakili oleh Melly Lembong beserta kedua putra, Andre dan Roy Lembong. Mereka tampil ke muka menyerahkan hadiah bagi Saparinah. Uniknya, pemenang kemudian meneruskan hadiah uang yang diterimanya kepada tiga organisasi perempuan: Pundi Perempuan (Komnas Perempuan), Yayasan Pendidikan Nusantara Kartini dan Saparinah Sadli Award.  

Sebagai penghormatan atas komitmen dan kepedulian Saparinah pada isu perempuan dan gender, maka Eddie Lembong berinisiatif menambahkan jumlah hadiah yang diberikan oleh Saparinah kepada tiga pihak yang telah dipilih, dengan jumlah yang sama.

Dalam pidato pertanggungjawaban, anggota Dewan Pakar Nabil, Didi Kwartanada menyebutkan tiga aspek sumbangsih Saparinah Sadli yang dinilai memenuhi kriteria pemenang Nabil Award.  Pertama kontribusi Saparinah dalam bidang psikologi. Kedua, sumbangsih Saparinah dalam bidang studi perempuan dan gender.   Ketiga, Saparinah selaku Aktivis isu perempuan dan kemanusiaan

Sisi aktivisme Saparinah dalam perjuangan menentang kekerasan terhadap perempuan memuncak karena meletusnya Tragedi Mei 1998. Saat terdengar kabar terjadinya pelecehan seksual terhadap kalangan perempuan,  yang juga menimpa perempuan dari kalangan Tionghoa, ia mampu menyatukan tokoh-tokoh perempuan dari berbagai elemen. Bersama-sama mereka menghadap Presiden Habibie dan meminta pemerintah untuk minta maaf atas kekerasan seksual tersebut serta menindaklanjutinya. Bola salju yang digulirkan Saparinah dan kawan-kawannya ini kemudian menjadi semakin besar dengan dibentuknya Komnas Perempuan, yang hingga kini tetap teguh berjuang dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan. Saparinah menjadi ketua pertama Komnas Perempuan hingga tahun 2002, di samping juga menjabat Wakil Ketua Komnas HAM dari 1999-2001.

Di bulan Mei 2007, Komnas Perempuan menunjuk Saparinah selaku “Pelapor Khusus tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya”. Hasil pelaporan Saparinah dan Komnas Perempuan ini ternyata mampu memberikan perasaan “tidak sendiri” pada perempuan Tionghoa. Sebelumnya mereka merasa harus bergulat sendirian dengan masalah dan ingatan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.

Maka dari sudut kebangsaan, aksi humaniter yang dilakukan Saparinah bersama kawan-kawan merupakan upaya memperkuat “mata rantai lemah” dalam nation building kita, yakni menggandeng etnis Tionghoa sebagai sesama elemen bangsa yang sederajat dan setara, tanpa adanya sekat-sekat pembedaan.

Dalam pidato penerimaannya, Saparinah menekankan pentingnya sila ke 2 Panca Sila yang ditambah kata 'jender', sehingga menjadi “Kemanusiaan yang Adil Jender dan Beradab” dan sedikit penjelasan mengapa hal itu penting.
Hadir pula dalam acara tersebut adalah Sinta Nuriyah Wahid, Prof Dr Juwono Soedarsono, AM Fatwa serta tokoh-tokoh Tionghoa seperti Pandji Wisaksana,  Yoza Suryawan dan Bambang Suryono (Pemred Guoji). ***


- - -



Pidato Ibu Saparinah:


Membangun Bangsa:
Mewujudkan Kemanusiaan yang Adil Gender dan Beradab#



Ass Wr Wb,
Slamat sore Hadirin Yth,


Pertama-tama saya ingin menyampaikan terimakasih atas kesediaan saudara-saudara yang telah meluangkan waktu untuk hadir pada malam pemberian Nabil Award tahun ke-5, yang pilihannya jatuh kepada saya. Yayasan Nabil adalah organsasi yang mempunyai visi dan misi membangun bangsa (nation building). Justru terkait dengan visi dan misi Yayasan Nabil inilah maka saya tertegun dan ragu ketika Ketua Yayasan Nabil, Drs. Eddie Lembong menyampaikan bahwa sayalah yang terpilih. Saya menyampaikan bahwa apa yang saya kerjakan, khususnya saat terjadi kerusuhan yang sekarang dikenal sebagai Tragedi Mei 1998, tidak  hanya menyangkut pribadi saya tetapi merupakan hasil kerja BERSAMA sejumlah perempuan dari berbagai usia, agama dan etnisitas. Karenanya, saya anggap bahwa Nabil Award yang meskipun diterimakan kepada saya, bukan hanya untuk saya tetapi juga untuk mereka. Para perempuan yang telah mengajak saya untuk bersama bergerak terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, khusunya pelanggaran hak asasi perempuan saat terjadi kerusuhan bulan mei 1990 yang hingga kini masih meninggalkan berbagai segi gelap. Untuk ini saya ingin terlebih dahulu memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa apa yang pernah saya kerjakan dianggap berguna dalam kehidupan bersama. Apalagi mengingat bahwa kerja perempuan lebih banyak dianggap biasa, hingga jarang mendapat perhatian khusus. Yayasan Nabil merupakan pengecualian karena dari 10 Award yang pernah diberikan, 6 diantaranya diberikan kepada perempuan.

Perempuan Indonesia dalam membangun bangsa sebenarnya tidak pernah absen. Sejak sebelum kemerdekaan. Namun kontribusi mereka jarang tercatat dalam sejarah bangsa. Sebagai generasi pertama, mereka cikal bakal gerakan perempuan Indonesia yang telah merintis, dengan cara dan strategi sesuai zamannya, membangun kemanusiaan yang adil dan beradab. Tema yang telah saya pilih untuk dibahas dari perspektif gender.


Hadirin yang terhormat,

Refleksi terhadap kerusuhan Bulan Mei 1998 menunjukkan bahwa peristiwa ini telah meninggalkan trauma bagi para korbannya yang sebagian besar terdiri dari warga miskin kota dan sejumlah perempuan keturunan etnik Tionghoa yang telah mengalami perkosaan massal. Suatu peristiwa yang mengejutkan meskipun kekerasan terhadap perempuan sebenarnya sudah ada sejak peradaban manusia. Tetapi di Indonesia untuk pertama kalinya diangkat sebagai isu publik.

Sehubungan dengan itu, saya memilih sebagai topik bahasan Mewujudkan Kemanusiaan yang Adil GENDER dan Beradab karena formulasi yang neutral gender dalam implementasinya seringkali menyebabkan bahwa kekhususan warga tertentu, seperti perempuan, lepas dari perhatian. Apalagi hingga sekarang masih ada stereotipi yang dianut oleh banyak laki-laki dan juga perempuan yang menempatkan peremuan inferior dibandingkan dengan laki-laki (yang superior). Juga karena nilai-nilai adat, budaya, agama, juga masih ada yang menempatkan perempuan sebagai ‘kurang sempurna’. Sehingga dalam kehidupan bersama diskriminasi terhadap perempuan tetap terjadi meskipun kita sudah memiliki undang-undang tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan kebijakan pengarusutamaan gender yang secara de jure menjanjikan tercapainya kesetaraan gender. Namun, kalaupun berjalan, secara de facto masih berlangsung lamban. Kunci permasalahannya terletak pad aelit politik, perempuan dan laki-laki, yang masih memandang sebelah mata berbagai isu perempuan dan meminggirkannya sebagai tanggungjawab perempuan dan bukan tanggungjawab bersama.

Jika tema yang saya pilih terkait pada Sila ke-2 dari Pancasila, hal ini sama sekali btidak ada keinginan mengubah formulasinya, tetapi lebih ingin mendudukkan permasalahan yang terutama dialami perempuan sebagai permasalahan sesama manusia. Seperti masih maraknya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan karena ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki atau ketidaksetaraan gender.  Sesuatu kondisi yang bukan isu perempuan karena gender tidak identik dengan perempuan. Gender adalah hasil internalisasi sejak seseorang dilahirkan secara biologis dan kemudian segera belajar untuk bisa menjadi manusia yang beradab.

Adapaun misinterpretasi terhadap istilah gender berkontribusi pada bertahannya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga perlu dicari bersama bagaimana agar isu gender seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan diyakini sebagai bukan isu perempuan tetapi isu kemanusiaan yang beradab. Dalam masyarakat kita yang patriarkhal danmasih rindu akan pentauladanan, isu gender masih membutuhkan perhatian bersama, terutama dari para elit politik dan lain warga yang diposisikan untuk memberi tauladan.

Perkosaan adalah suatu bentuk kekerasan berbasis gender. Perempuan yang diperkosa atau mengalami percobaan perkosaan sama-sama mengalami trauma yang berdampak pada seluruh jati diri perempuan meskipun yang diserang adalah fisiknya. Para analisis gender menggolongkan perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang bersumber pada ketimpangan kekuasaan dalam relasi laki-laki dan perempuan.

Relasi gender yang timpang terus menggejala di tengah-tengah proses perubahan masyarakat yang kini membuka peluang lebar bagi perempuan dan laki-laki untuk menyumbang tenaga dan fikirannya bagi pembangunan bangsa sehingga sekarang cukup banya perempuan dapat memilih untuk berkiprah di ruang publik. Tidak hanya karena terpaksa atau untuk menopang ekonomi keluarganya, tetapi juga untuk dapat mengaktualisasikan potensi dirinya secara optimal. Namun demikian, tidak bisa diingkari bahwa sampai hari ini masih cukup banyak perempuan mengalami diskriminasi dan belum selalu diperlakukan secara adil.

Bahwa kekerasan terahdap perempuan justru meningkat dalam dekade terakhir ini dilaporkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), lembaga yang didirikan dalam Oktober 1998 sebagai hasil tuntutan sejumlah perempuan pada pemerintahan Pasca Orde Baru. Komnas Perempuan Sejak 2002 secara rutin mengumumkan hasil dokumentasinya yang antara lain mencatat bahwa: berbagai bentuk kekerasan berbasis gender setiap tahunnya meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Korbannya terdiri dari perempuan dan anak perempuan lintas pendidikan, agama, sosial ekonomi dan etnisitas. Pelakunya adalah negara, komunitas dan individu (termasuk suami, pacar, kakak, kakek dan tetangga dekat). Juga tercatat adanya sejumlah PERDA yang mendiskriminasikan perempuan dengan mengatur sekaligus mengontrol penampilan dan perilaku perempuan. Suatu kondisi sosial yang mencerminkan bahwa aspirasi bangsa untuk membangun Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila ke-5) dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sila ke-2) meskipun sudah ada landasan legalnya, namun secara de facto belum bisa dinikmati seluruh warga, khususnya perempuan.

Artinya: sudah 66 tahun merdeka dan telah pula berupaya membangun jati diri bangsa sesuai filsafat negara. Yaitu menghormati keberagaman nilai-nilai budaya dan agama, mengupayakan kesejahteraan untuk semua, dan belajar menghormati  perbedaan antar  manusia. Bahwa hingga sekarang kelompok manusia yang berjenis kelamin perempuan masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender menunjukkan bahwa menghormati hak asasi perempuan sebagai sesama manusia masih merupakan impian bagi cukup banyak perempuan. Contohnya: di tengah-tengah kesempatan yang telah bisa diraih dan dinikmati perempuan Indonesia, masih saja lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki yang hak pendidikannya dilanggar. Karena meskipun ada Wajib Belajar 9 Tahun, akses anak perempuan terhadap pendidikan masih mengalami kendala, khusunya anak perempuan keluarga ekonomi kurang mampu. Mereka tetap dihadang oleh tradisi dan nilai budaya yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-aki yang diposisikan sebagai calon kepala keluarga. Faktor lain yang terus menggejalanya kawin dini bagi anak perempua yang selain karena tradisi juga karena dihimpit kondisi sosial ekonomi yang rendah. Tidak terpenuhinya hak pendidikan anak perempuan akhir-akhir ini makin diperparah dengan menggejalanya perdagangan anak perempuan. Faktor-faktor yang selanjutnya berkontribusi pada terlanggarnya hak kesehatan reproduksi perempuan. Karena terjadi kehamilian pada usia dini yang berarti sistem dan organ reproduksinya belum siap mendukung kehamilannya. Sedang aborsi tidak aman telah berkontribusi sebanyak 13% pada Angka Kematian Ibu (AKI), yang masih tertinggi di Asia, yang berarati hak hidup perempuan Indonesia masih dilanggar. Ini berlangsung di tengah-tengah kemajuan tekhnologi kedokteran yang sebenarnya dapat membantu agar ketika ibumelahirkan tidak perlu mengakibatkan kematian. Masih dialnggarnya hak pendidikan anak perempuan berarti bahwa akses perempuan pada berbagai informasi dibendung. Masih dilanggarnya hak pendidikan anak perempuan karenanya adalah isu gender yang serius karena berkontribusi pada sulitnya memutuskan siklus kemiskinan jutaan manusia Indonesia.

Semua ini adalah sekelumit contoh bahwa masih berlangsungnya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender maka aspirasi meujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab belum bisa dinikmati setiap perempuan. Ironisnya adalah bahwa diskriminasi berbasis gender juga dilakukan oleh para elit politik. Contohnya: ketika diumumkan bahwa calon menteri perempuan perlu memenuhi kriteria ‘harus berkualitas’. Suatu kriteria yang tidak berlaku bagi calon menteri laki-laki. Namun, ketika dilansir di media, ternyata anggota masyarakat pada umumnya menganggap sebagai ‘lumrah’ atau biasa. Sedang kekerasan verbal yang dilontarkan seorang pejabat dalam kaitannya dengan perkosaan adalah contoh bahwa ‘mindset’ para elit politik tidak menganggap diskriminasi terhadap perempuan sebagai maslah negara/nasional yang merugikan kemanusiaan warga yang berjenis kelamin perempuan. Ini terjadi meskipun 27 tahun yang lalu Indonesia mensyahkan UU No. 7/84 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (hasil ratifikasi CEDAW).

Tetapi perlu diakui bahwa relasi perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran domestik dan publik jelas mengalami perubahan. Cukup banyak suami yang menganggap istrinya sebagai ‘mitra sejajar’, banyak laki-laki yang berperan sebagai atasan memberlakukan sekretarisnya yang kebanyakan terdiri dari perempuan, sebagai sesama rekan kerja. Namun, ini tidak berarti bahwa kekerasan domestik berbasis gender sudah berhenti sebagaimana dilaporkan oleh Kepolisian, Rumah Sakit, Pengadilan Agama dan Women’s Crisis Centers. Bahwa kekerasan berbasis gender di lingkup kerja publik belum banyak dilaporkan disebabkan karena masih disimpan rapih di belakang pintu kantor.  Alasannya bermacam, seperti: perempuan korban masih malu dan takut melaporkannya, perempuan korban MEMILIH mengalah dengan cara pindah kerja atau malah berhenti kerja di ruang publik. Hal ini diperparah dengan masih adanya stigmatisasi publik yang lebih cepat menyalahkan korban daripada pelakunya.


Hadirin Yth,

Bila kita serius ingin mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab dalam artian adil bagi laki-laki dan perempuan dan menumbukan rasa aman bagi semua, maka beberapa hal masih menjadi pekerjaan rumah bersama, seperti:
  1. Para elit politik, tokoh agama, pendidik dan masyarakat hingga orangtua menyadari bahwa penghapusan ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki dalam mengisi peran domestik dan publiknya adalah tanggung jawab bersama. Meskipun perempuan sudah bisa aktif di berbagai ruang publik, malahan sudah bisa memasuki jenis pekerjaan yang tadinya dimonopoli oleh laki-laki, tidak sekaligus berarti ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki telah usai.
  2. Kebijakan menghimpun data yang terpilah gender sampai sekarang masih terbatas. Padahal kebijakan negara yang dibuat tanpa data terpilah gender merupakan salah satu sebab bahwa kebutuhan khusus perempuan tidak diperhatikan.
  3. Diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terjadi baik saat damai maupun ketika terjadi konflik. Kerentanan perempuan dalam situasi konflik terjadi sejak awal hingga usainya konflik. Tetapi kebijakan yang dibuat ketika terjadi konflik atau terjadi bencana alam hampir tidak pernah memperhatikan kebutuhan khusus perempuan. Terlupakan bahwa dalam situasi pasca konflik atau terjadi bencana alam perempuan tetap dibebani dengan tugas-tugas domestiknya. Kita masih memerlukan lebih banya pembuat kebijakan yang sensitif gender dan memahami bahwa perbedaan biologis dan psikososial antara perempuan dan laki-laki perlu diperhatikan kalau kita ingin mewujudkan Kemanusiaan yang Adil Gender dan Beradab.

Demikianlah apa yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini. Terimakasih atas  perhatian Saudara sekalian dan kepada Yayasan Nabil yang memberi ruang kepada saya untuk membahas pembangunan bangsa dari perspektif gender. Khususnya kepada ketua Yayasan Nabil, Drs. Eddie Lembong yang berhalangan hadir sore hari ini, saya ikut mendoakan semoga kesehatannya akan cepat pulih kembali dan bisa beraktivitas speerti semula. Amien. Wss. Wr. Wb.

Kamis, 06 Oktober 2011

Remembering Steve Jobs: commencement address at Stanford University in 2005.





the text:


I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I've ever gotten to a college graduation. Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories.

The first story is about connecting the dots. I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?
It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: "We have an unexpected baby boy; do you want him?" They said: "Of course." My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.

And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn't interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.

It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms, I returned coke bottles for the 5¢ deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. 

Let me give you one example:
Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating.

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, it's likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.

Again, you can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something - your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

My second story is about love and loss. I was lucky - I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation - the Macintosh - a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.

I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down - that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me - I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.

I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.

During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I returned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance. And Laurene and I have a wonderful family together.

I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking. Don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don't settle.

My third story is about death. When I was 17, I read a quote that went something like: "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "No" for too many days in a row, I know I need to change something.

Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything - all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.

About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor's code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you'd have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.

I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I'm fine now.
This was the closest I've been to facing death, and I hope it's the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:
No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.
Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma - which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960's, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.

Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: "Stay Hungry. Stay Foolish." It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.

Stay Hungry. Stay Foolish.



 

Jumat, 09 September 2011

This is why I'd prefer something else than an iPad.. | #alteriPad

I guess the question boils down to: are you a passive absorber, or an active interpreter? Do you complacently accept, or do you critically question things?

If you are the kind of person who just browses through websites, or reads e-books passively absorbing its content, then by all means, the iPad is the thing for you.

I have liked Steve Jobs for many years since the Apple II, even, but the creation of the iPad seems to encourage people to be passive enjoyers of the content that others can produce, or maybe even meant as a peripheral device of Apple's App Store, a kind of vending machine that the consumers need to purchase to be able to make more purchases.

I have a feeling that Apple purposely want more people to more passive rather than becoming more interpretative and critical.

Sure, you can jot a few words using the touchscreen keyboard, but certainly it would be much easier just to tap "purchase" and buy things online.


Now if you are someone who constantly thinks and interprets, and like to express what you think and interpret, then clearly the iPad is not a device for you.



A few days ago I watched (on-line) Samsung's presentation of their new Galaxy Note, and realized that it was the thing for me. The premise of Samsung's Galaxy Note is exactly the fact that there are many people out there that likes to make notes and share them with others. Ideas often come in sketches and graphs rather than in typed words, and the Galaxy Note would allow people to do that on what ever they are browsing for, or e-reading.




As it turns out, HTC has earlier introduced something very similar (and actually maybe even more impressive, except for some features) to the Galaxy Note, which is the HTC Flyer. It is equipped with a very fancy pen that allows people to make multicolored and multitextural sketches and hand written notes.

About 15 years ago, Apple developed something very similar to the HTC Flyer, Apple's Newton, which unfortunately was a flop because it was conceived prematurely, before there was adequate "infrastructure to allow its performance. Its a great pity that Apple did not attempt to resurrect the old Newton, but perhaps they figured out that a Newton, which would make its users more critical and expressive, is not something that they wanted to produce and promote, as it would run counterproductively against their business.

I am an interpreter. When I read I like to jot down my interpretations of the read directly on the book. E-books have not allowed this until the HTC Flyer and the Samsung Galaxy Note.

I can search maps and scribble alternative road patterns on the new Android devices. That would be very useful for me to visualize some ideas about how to decrease traffic congestion in Jakarta, and I can send these scribbled notes on the fly, directly to my blog or email it to some official in the government who might be able to make a change to the chaos of our city.

I can cut out pictures from the web, and paste them onto other pages to visualize things and ideas. I have always liked the eclectic and visual quality of Gallimard guide books, and these two new Android devices seem like a cool way to create my own "Gallimard" pages.

So, if you are visual and yet like to interpret expressively, you should look into the two new devices, before buying even the latest of the iPads.

Sabtu, 03 September 2011

#SelasaBahasa

Setiap hari Selasa kita adakan #SelasaBahasa.

Mari kita usahakan tiap minggu ada tema untuk #SelasaBahasa, tapi kalau pun tidak, tidak apa-apa... Coba kita post juga ke blog ini.

Kamis, 28 Juli 2011

Jadwal Kereta Sudimara - Jakarta


Sudimara - Jakarta   


KA   
   
KRL     jenis          tujuan             Sudimara   
                                                 tiba     berangkat   
521      CL            Tanah Abang   05:19   05:21   
523      CL            Tanah Abang   05:44   05:46   
731      KRL-Ek     Tanah Abang   06:19   06:21   
5657    CL            Manggarai        06:28   06:30   
5691    CL            Manggarai        06:53   06:55   
5863    CL            Jkt Kota          07:28   07:30      
529      CL            Tanah Abang   07:39   07:41      
733      KRL-Ek     Tanah Abang   08:04   08:06       
5663    CL            Manggarai        08:37   08:39   
533      CL            Tanah Abang   09:09   09:11      
5865    CL            Manggarai        09:42   09:44   
735      KRL-Ek     Tanah Abang   10:09   10:11  
537      CL            Manggarai       11:58   12:00           
737      KRL-Ek     Tanah Abang   12:09   12:11       
739      KRL-Ek     Manggarai       13:44   13:46       
5671    CL            Manggarai        15:13   15:13   
5869    CL            Jkt Kota           16:17   16:19      
543      CL            Tanah Abang   16:40   16:42  
5679    CL            Manggarai        17:23   17:25   
743      KRL-Ek     Tanah Abang   17:34   17:36    
547      CL            Tanah Abang   18:19   18:21  
549      CL            Tanah Abang   18:59   19:01  
745      KRL-Ek     Tanah Abang   19:19   19:21    
5685    CL            Manggarai        19:41   19:43   
5689    CL            Manggarai        20:08   20:10   
555      CL            Manggarai       22:04   22:06



Jakarta - Serpong