Selasa, 03 April 2012

Setelah Pelelangan Benda Temuan Kapal Tenggelam Gagal, Apa yang Akan Kita Lakukan?


Rabu, 5 Mei 2010, sedianya akan diadakan lelang benda temuan dari kapal tenggelam di perairan Cirebon. Namun, sampai batas akhir, belum ada satupun calon peserta lelang yang mendaftar. Oleh karena itu, pelelangan lebih dari 270.000 benda itu tidak terjadi. Namun secara resmi pelelangan tetap dilakukan dan disebut sebagai “lelang tidak ada peminat dan tak ada penjualan”. 
Sebenarnya, sebagaimana dikatakan Sekretaris Jendral Panitia Nasional Benda Muatan Asal Kapal Tenggelam Sudirman Saad dalam sebuah konferensi pers, sejauh ini sudah ada 20 peminat dari Singapura, Cina, Hongkong, Malaysia, dan Jepang. Namun, yang memberatkan adalah karena keseluruhan dari 270.000 benda tersebut dilelang sebagai satu lot tunggal, dengan harga perkiraan minimal US$ 80 juta. Sebagai persyaratan untuk ikut menjadi peserta lelang, pendaftar juga wajib menyetor 20% dari harga perkiraan minimal itu. Tentunya, hal itu juga membuat peminat ragu-ragu untuk ikut dalam lelang tersebut.
Keputusan untuk melelang keseluruhan barang sebagai satu lot tunggal, menurut penyelenggara lelang, dimaksudkan untuk menjaga keutuhan dari benda-benda temuan itu. Rupanya, Panitia Nasional itu berharap sebuah museum bisa membeli harta karun hasil temuan ini dan mengundang para pakar arkeologi dunia untuk meneliti temuan ini lebih lanjut. Memang, temuan ini sangat penting. Pemburu harta karun bawah laut Luc Heymans mengakui bahwa temuan yang berasal dari sekitar tahun 976 Masehi itu merupakan temuan terbesar di Asia. Di dalam kapal yang diperkirakan tenggelam sekitar tahun 976 Masehi ditemukan benda-benda keramik yang berasal dari era Lima Dinasti Cina yang meliputi Dinasti Liang (907-923), Tang (923-936), Jin (936-947), Han (947-951), dan Zhou (951-960, benda kerajinan gelas yang berasal dari Kerajaan Sasanian (Persia), sarung golok emas dan kristal batu yang diperkirakan merupakan peninggalan Dinasti Fatimiyah (909-1711). Menurutnya, temuan itu setara dengan temuan harta kapal jenis galeon Spanyol Atocha yang tenggelam di perairan Florida, Amerika Serikat, tahun 1622, yang sempat menggegerkan dunia ketika ditemukan tahun 1980-an.
Ketika pertama kali menyelam di perairan utara Cirebon, Jawa Barat, pada 2004, Heymans tidak bisa percaya apa yang muncul dari kegelapan di dasar laut: situs itu merupakan “gunung porselen”. “Ketika itu, perdagangan dan pelayaran antara Jazirah Arab-India-Sumatera dan Jawa sangat ramai,” tutur Heymans. Ia dan timnya baru berhasil mengangkat semua barang itu ke darat setelah melakukan lebih dari 20.000 kali penyelaman. Walau selama era Lima Dinasti banyak terjadi perdagangan antara Cina dengan Arab dan India yang melewati Jawa dan Sumatra, banyaknya potongan porselen Cina kekaisaran dan ditemukannya sarung golok emas, membuatnya memperkirakan bahwa kemungkinan ada duta besar di atas kapal itu. Yang jelas, temuan asal kapal tenggelam ini bisa menjadi benda bukti yang dapat menambah pengetahuan kita tentang sejarah dan kehidupan di masa lampau.
Rencana lelang benda arkeologis seperti ini pasti mengundang kontroversi. Beberapa kalangan menentang rencana itu dan berharap bahwa benda itu bisa tetap berada di Indonesia. Walau hampir 1.000 benda yang dikategorikan sebagai benda cagar budaya di antara temuan itu sudah diamankan untuk digunakan kepentingan negara, pihak-pihak yang menentang rencana lelang itu mengharapkan agar benda-benda itu bisa tetap berada dalam penguasaan negara. Sementara kita perlu memikirkan pelestarian sejarah dan budaya kita, kita juga perlu menyadari keterbatasan kita. Mungkin kita perlu menyadari bahwa untuk menyimpan, merawat dan memanfaatkan benda-benda yang sudah ada dalam koleksinya saja, museum-museum kita tidak/belum sanggup, apalagi menangani tambahan ratusan ribu benda koleksi baru. Selain itu, kita juga perlu memahami bahwa untuk memanfaatkan benda-benda temuan itu, kita tidak perlu menyimpan keseluruhannya. Yang penting, beberapa sampel yang signifikan dan mewakili keseluruhan koleksi dapat tetap disimpan untuk keperluan keilmuan arkeologi, permuseuman, dan sejarah. Namun yang terpenting untuk dicermati dalam hal benda budaya seperti itu adalah bahwa pada situs kapal tenggelam itu sudah diteliti dengan seksama, dicatat dan didokumentasikan dengan lengkap dan benar, agar informasinya dapat tetap dimanfaatkan di kemudian hari.
Menurut informasi yang diperoleh Adi Agung Tirtamarta, Presiden Direktur PT Paradigma Putra Sejahtera, yang memiliki wewenang atas lokasi kapal tenggelam, antara abad ke-9 dan ke-20 ada sekitar 10.000 kapal Cina yang berlayar ke arah kepulauan Nusantara dan tidak kembali ke Cina. Angka itu belum termasuk kapal-kapal dari negara-negara lain. Sumber lain memperkirakan bahwa ada lebih dari 20.000. Intinya, jumlah kapal tenggelam banyak sekali.
Selama ini benda muatan asal kapal tenggelam yang berasal dari kepulauan Indonesia telah dijarah oleh para pemburu harta karun profesional yang kurang peduli pentingnya dilakukannya penelitian arkeologis dan pendataan pada temuan-temuan kapal tenggelam tersebut. Pada tahun 1980-an, benda-benda temuan yang dikenal sebagai Kargo Nanking dilelang di Belanda. Kargo yang diangkut kapal VOC Geldennalsen dan karam di perairan Riau tahun 1751, itu ditemukan dan diangkat ke darat oleh pemburu harta karun notorius berkebangsaan Inggris, Michael Hatcher.
Hatcher bukan satu-satunya pemburu harta karun itu. Pada tahun 1998, pemburu harta karun Jerman Tilman Walterfang menemukan lebih dari 60.000 buah keramik kuno Cina yang berasal dari Dinasti Tang (618-907 M) di perairan Bangka-Belitung. Temuan yang dikenal sebagai Kargo Tang itu merupakan suatu penemuan yang dianggap salah satu terpenting di Asia, karena membantu para ahli arkeologi memahami lebih jauh tentang rute perdagangan kuno yang dikenal sebagai ‘Jalan Sutera Laut’. Sementara benda-benda itu diperkirakan bernilai US $ 80 juta. Pemerintah Indonesia akhirnya dibayar $ 2,5 juta dan mendapat beberapa barang yang tidak laku terjual. Sebagaimana dilaporkan majalah berita Jerman Der Spiegel (Jan 2006), sebagian benda-benda keramik itu dijual kepada pemerintah Singapura pada 2005 dengan harga US$ 32 juta. Artefak-artefak itu akan menjadi koleksi inti dari Museum Jalan Sutra Maritim Singapura yang rencananya akan dibuka tahun 2010 ini.
Tahun 2000, kargo terdiri dari 350,000 benda yang berasal dari kapal Tek Sing yang karam tahun 1822 ditemukan dan diangkat dari perairan Bangka-Belitung secara diam-diam oleh pemburu harta karun yang sama, dilelang di Jerman. Pemerintah Indonesia berhasil merundingkan pembagian hasil separuh dari hasil temuan itu dan berhasil mendapatkan dana sejumlah DM 22,4 juta kurang lebih Rp 90 milyar. Walau pun pemerintah sudah lebih tanggap dalam memastikan negara mendapatkan bagian dari hasil upaya pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, bagaimana benda-benda dapat dilarikan ke luar negeri masih perlu diselidiki lebih lanjut.
Melihat meningkatnya penjarahan dan penghancuran warisan budaya bawah air terutama karena ulah para pemburu harta yang tidak bertanggung jawab, pada 2001 UNESCO merancang Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air. Konvensi itu mewajibkan negara peserta melestarikan warisan budaya bawah air untuk kepentingan kemanusiaan dan mengambil tindakan yang sesuai. Walaupun tidak diwajibkan melakukan penggalian arkeologis segera, negara peserta perlu mengambil tindakan sesuai dengan kemampuan mereka, terutama untuk penelitian ilmiah dan akses publik. Pelestarian in-situ (pada lokasi temuan) menjadi opsi pertama dalam mengizinkan atau terlibat dalam kegiatan yang diarahkan pada benda warisan itu. Namun, pengangkatan benda dapat diizinkan jika dilakukan untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perlindungan dan/atau pengetahuan tentang warisan budaya bawah air. Konvensi itu menetapkan bahwa warisan budaya bawah air seharusnya tidak dieksploitasi secara komersial untuk perdagangan atau spekulasi, dan tidak boleh dipisahkan sedemikian rupa hingga tidak dapat didapatkan kembali. Secara teoritis, konvensi itu sangat baik, namun bagi negara kepulauan seperti Indonesia dengan begitu banyak situs kapal tenggelam, hal itu tentunya juga menjadi beban yang sangat besar. Mungkin karena itulah hingga kini Indonesia belum meratifikasi perjanjian itu.
Sebenarnya, Panitia Nasional Benda Muatan Asal Kapal Tenggelam sangat berharap sebuah museum bisa membeli harta karun hasil temuan ini kemudian mengundang para pakar arkeologi dunia untuk meneliti temuan ini lebih lanjut. Karena itulah benda-benda temuan di lepas laut Cirebon ini ditawarkan sebagai lot tunggal. Namun, tentunya hal itu mengakibatkan jumlah calon penawar menjadi terbatas. Hanyalah pihak-pihak yang sanggup menyisihkan dana sebesar paling tidak US $ 80 juta yang dapat ikut menawar. Untuk meminta persetujuan anggaran untuk akuisisi koleksi yang tidak kecil itu, museum-museum manca negara akan membutuhkan waktu yang cukup lama agar dapat melakukan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap koleksi tersebut. Waktu satu atau dua bulan saja tidaklah cukup, apalagi informasi tentang akan dilakukannya pelelangan ini baru muncul sekilas sekitar 1 bulan sebelum acara pelelangan, dan baru mulai ramai dibicarakan hanya beberapa hari sebelum acara berlangsung. Promosi tentang acara lelang ini mengandalkan pemberitaan saja. Tidak tersedia website yang memberikan informasi tentang rencana dan prosedur lelang, sehingga hanya beberapa calon pembeli yang mengetahui tentang hal itu.
Perlu diperhatikan bahwa akuisisi Kargo Tang oleh pihak Singapura memerlukan waktu sejak negosiasi awal hingga pembayaran akhir dilakukan. Pada 2004 Sentosa Development Corporation mengumumkan bahwa pihaknya memperoleh hak untuk memamerkan —dengan opsi untuk sekaligus dapat membeli— koleksi benda Kargo Tang tersebut. Bersamaan dengan rencana pembentukan Yayasan Warisan Maritim Singapura, ahli waris dari pengusaha Tan Sri Khoo Teck Puat, salah satu pengusaha terkaya di Asia Tenggara, mengibahkan sejumlah dana sebagai penghormatan pada Almarhum, sehingga tersedia dana yang cukup untuk mengakuisisi Kargo Tang tersebut. Kemudian negosiasi pembelian koleksi itu dituntaskan pada 2005. Walaupun kesannya cukup singkat, tapi sebenarnya sebelum negosiasi terjadi pun pihak pembeli pasti sudah melakukan proses due diligence yang menyeluruh atas koleksi tersebut.
Sebenarnya, gagalnya pelelangan benda temuan kapal tenggelam ini, dan begitu besarnya perhatian media massa dan masyarakat atas hal ini, perlu segera dimanfaatkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kalau memang sudah ada gagasan untuk menawarkan koleksi ini sebagai suatu bahan bagi museum pembelinya untuk dapat mengundang para pakar arkeologi dunia untuk meneliti temuan ini lebih lanjut, mengapa gagasan itu tidak ditindaklanjuti sendiri saja. Momentum kepedulian pada koleksi ini perlu segera dimanfaatkan dengan menyiapkan suatu pameran yang dapat menumbuhkan minat masyarakat atas sejarah dan budaya mereka sendiri. Siapa tahu, Pemerintah sekalian bersedia membangun sebuah Museum Maritim Bawah Laut yang menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik akan menelan biaya sekitar Rp. 450 miliar. Tentu itu belum termasuk biaya pengelolaan harian dan perawatan koleksi museum itu. Permasalahan ini juga kemudian mengundang banyak pertanyaan lain: apakah kita sudah memiliki sumber daya manusia yang memadai? apakah perundang-undangan kita sudah cukup mendukung filantropi swasta untuk pelestarian budaya? Kemudian apakah nanti museum itu akan terus dikunjungi masyarakat, ataukah minat masyarakat akan sudah reda ketika permasalahan ini juga sudah surut?
Yang jelas kita perlu menyadari bahwa melestarikan benda-benda temuan kapal tenggelam di negara kepulauan seperti Indonesia yang juga merupakan salah satu pusat karamnya kapal terbesar di dunia, bukanlah hal yang mudah. UNESCO boleh saja mendesak kita ikut meratifikasi Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, tapi lembaga itu juga perlu mempertimbangkan kesulitan yang kita akan hadapi untuk dapat melestarikan semua situs yang ada di kawasan kita dengan benar. Marilah kita mengkaji lagi: apa yang dapat/perlu/harus kita lakukan agar kita bisa melestarikan semua titik temuan kapal tenggelam? Atau, sebenarnya mampu dan maukah kita melakukannya?

--Amir Sidharta