Rabu, 26 Maret 2014

Yang tua sebut Tionghoa, yang muda sebut Cina!
oleh Amir Sidharta

[sebuah tulisan pasca kerusuhan 1998] 

Akhir-akhir ini, ketika masalah Cina kembali muncul di permukaan setelah kerusuhan 13-15 Mei 1998, panggilan Cina atau Tionghoa juga menjadi perdebatan yang cukup seru di kalangan orang Cina Indonesia sendiri.
Seorang yang menyebarkan formulir pengaduan dan seruan/pernyataan sikap
Solidaritas Nusa Bangsa ke Menhankam/Pangab ke beberapa warga keturunan Cina, ternyata beberapa dari mereka mengatakan bahwa sebutan Cina itu lebih kasar. Mereka, lebih baik menggunakan istilah Tionghoa, karena lebih halus.
Memang banyak orang, apakah ia keturunan Cina atau pribumi, kadang-kadang kelihatan canggung menyebut kata 'Cina', dan menghaluskannya dengan kata 'Tionghoa' atau bahkan ada yang beralih ke bahasa Inggris, 'Chinese'.

Memang sebagian orang keturunan Cina, terutama yang lebih tua, lebih suka penggunaan istilah Tionghoa ketimbang Cina. Yang lebih muda, tidak terlalu mempermasalahkannya lagi. Seorang teman mengatakan bahwa ibunya menganggap bahwa istilah 'Cina' itu merendahkan sekali. Dalam D&R, edisi 4 Juli yang lalu, dilaporkan bahwa H.M. Yusuf Hamka, pemimpin Masyarakat Pembauran Indonesia, juga menganggap pemakaian istilah 'Cina' itu bernada sinis, dan menuntut agar sebutan 'Cina' diganti dengan 'Tionghoa'.
Penggunaan istilah 'Cina' dan 'Tionghoa' sebenarnya sudah dibahas oleh Charles Coppel dan Leo Suryadinata dalam artikel yang kemudian diterbitkan dalam jurnal Papers on Far Eastern History 2 (September 1970) pp. 97-118 (dan diterbitkan kembali dalam buku karya Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia: Seven Papers, Chopmen, Singapore, 1978, pp. 113-128). Menurut mereka, secara linguistik, 'Cina' adalah istilah Melayu yang lebih tua. Asalnya sama saja seperti kata Cina seperti kata 'China' dalam bahasa Inggis. 
Coppel mengatakan bahwa pada awal abad ke-20 Cina peranakan dan orang Indonesia pribumi mengunakan istilah 'Cina' jika berbicara dalam bahasa Melayu tanpa bermaksud menghina. Ketika Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) Batavia didirikan tahun 1900, lembaga itu mendirikan juga sekolah Cina, yang diikuti pendirian sekolah-sekolah Cina di tempat-tempat yang lain di Indonesia. Sambil mengacu pada foto para murid sekolah ini pada tahun 1904 dalam buku karya Nio Joe Lan, Riwajat 40 Taon dari Tiong Hoa Hwe Koan - Batavia (1900-1939), THHK, Batavia, 1940, p. 306, pakar sejarah ini menunjukkan.bahwa THHK Batavia pada mulanya menyebut sekolah ini 'Sekola Tjina'.
Coppel menghubungkan penggunaan kata "Tionghoa" dengan tumbuhnya rasa nasionalisme Cina di antara orang Cina di Indonesia pada dekade-dekade awal dari abad ini, terutama setelah pembentukan Republik Cina tahun 1911. Orang Cina Indonesia (terutama di Jawa) mulai mengacu pada diri mereka sendiri sebagai 'Tionghoa' dan kepada negeri Cina sebagai 'Tiongkok'. Kata-kata ini berasal dari persamaan kata dalam bahasa Hokkien dari Zhonghua/Chunghua dan Zhongguo/Chungkuo, yaitu istilah yang digunakan sebagai bagian dari kebangkitan nasionalisme di Cina sendiri. Orang Cina Indonesia juga mulai merasa dihina jika orang lain memanggil mereka 'Cina', rupanya karena hal itu diasosiasikan dengan penghinaan seperti 'Tjina mindring' dan 'Tjina loleng'.
Rupanya, hal ini lebih terasa di Jawa di mana sebagian besar Cina peranakan menetap. Sementara itu, penggunaan kata 'Tjina'  secara tidak menghina rupanya berlanjut di Sumatra dan Malaya. Penggunaan 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' sudah menjadi mapan pada tahun 1930an, dan diangkat sebagai penggunaan yang sopan bukan hanya oleh etnis Cina tapi juga oleh orang Indonesia pribumi.  Pada tahun 1950an semua orang yang menggunakan bahasa Indonesia (paling tidak di Jawa) melihat penggunaan istilah 'Tjina' sebagai penghinaan terhadap orang Cina.
Pergeseran kembali ke 'Cina' dalam penggunaan umum muncul sebagai hasil dari keputusan Seminar ABRI di Bandung pada bulan Agustus 1966. Hingga saat itu, hampir semua koran dan semua pejabat pemerintahan menggunakan 'Tionghoa' dan 'Tiongkok'. Keputusan Seminar ABRi itu dikonfirmasikan oleh Presidium Kabinet pada bulan Juli 1967, dan 'Tjina' menjadi penggunaan standar dalam pemerintahan dan media selama perioda Orde Baru, walaupun beberapa wartawan, harian dan penerbit tetap menggunkan 'Tionghoa'.
Coppel menganggap  istilah  'Cina' mengandung konotasi negatif sebagaimana kata 'Nigger' bagi orang Amerika Serikat keturunan Afrika. Karena itu, ia sendiri cenderung memilih penggunaan 'Tionghoa' untuk mengacu pada orang Cina, karena banyak di antara warga keturunan Cina yang masih merasa bahwa 'Cina' merupakan penghinaan. Ketika Sinar Harapan menerbitkan terjemahan bukunya Indonesian Chinese in Crisis pada tahun 1994, ia mendesak agar judulnya menjadi Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, dan bahwa kata 'Tionghoa' harus digunakan dalam keseluruhan buku itu, kecuali jika ada kutipan dari sumber Indonesia yang menggunakan kata 'Cina'.
Menurutnya penggunaan 'Cina' yang terlebih awal di Indonesia tidak lagi relevan. Yang justru harus diperhatikan adalah sentimen anti-Cina yang mengakibatkan perubahan itu, pada tahun 1966/67. "Jika mayoritas kulit putih di Amerika Serikat memutuskan untuk mendesak penggunaan kata 'Nigger' bagi orang Amerika keturunan Afrika, karena itu adalah penggunaan kata yang lebih dahulu dalam bahasa Inggris Amerika, dan karena kata itu yang aslinya diturunkan dari sebuah kata Latin yang berarti 'hitam', semua orang akan tahu bahwa alasan sebenarnya dari pengubahan itu tidak berhubungan dengan sejarah maupun etimologi dan lebih berhubungan denga sentimen rasis," jelasnya. 
"Jika akan ada rekonsiliasi antara etnis Cina dan Indonesia pribumi setelah horor dari kekerasan yang terjadi belakangan ini terhadap etnis Cina, suatu keputusan dari pemerintah untuk mengembalikan penggunaan sopan dari kata 'Tionghoa' akan menjadi simbol yang sangat bagus dari kebulatan tekad untuk menguburkan diskriminasi anti-Cina dan kekerasan secara tuntas," tambahnya.
Leon Agusta menceritakan pengalaman pergaulannya dengan beberapa tokoh etnis Tionghoa yang dikenalnya sejak kecil di Sumatra Barat. Kalau ia berbicara dengan Sofyan Wanandi --yang sebaya dengannya‑- di warung, lumrah ia menggunakan istilah "Cina" sebagai acuan, namun di forum yang lebih umum sifatnya, ia menggunakan istilah "Tionghoa". Sedang jika berbicara  dengan P.K. Ojong yang lebih tua, tentu yang digunakannya adalah istilah "Tionghoa".

Seperti kebanyakan teman-teman saya yang tergolong muda, apakah mereka keturunan Cina ataupun pribumi, saya sendiri cenderung memilih istilah 'Cina' ketimbang 'Tionghoa'. Bahkan, saya akan merasa sanggat canggung untuk menjawab "saya orang Tionghoa' jika ada yang menanyakan etnisitas saya. Saya akan jawab "saya orang Cina", dan bukan 'orang Tionghoa', apalagi 'orang Chinese'. Karena sebenarnya arti kata 'Cina' itu sama dengan kata 'Chinese' dalam bahasa Inggris, saya tidak mengerti kenapa banyak orang menganggap penggunaan istilah 'Chinese' itu lebih halus daripada kata 'Cina'.
Mungkin juga istilah 'Cina' inilah justru yang dapat dianggap lebih tepat karena istilah 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' yang berasal dari bahasa Hokkien berhubungan dengan suatu nasionalisme Cina di negeri Cina. Walaupun memang kebanyakan suku Cina di Indonesia adalah orang Hokkien, bentuk istilah 'Tionghoa' sebagaimana digunakan di Indonesia bukanlah bentuk yang juga digunakan oleh kelompok etnis Cina selain Hokkien di Indonesia, sehingga istilah itu belum tentu dapat dianggap representatif bagi semua warga Cina Indonesia.
Sedang etnis Cina secara internasional sekarang menggunakan istilah 'Cina' yang sepadan dengan istilah 'Chinese' dalam bahasa Cina atau Sino dalam bahasa Latin. Istilah ini awalnya dipakai untuk mengacu pada warga sekitar sungai Kuning, yang pada abad ke-3 sebelum Masehi dipersatukan di bawah wangsa terkuatnya,yaitu Ch'in (Qin) oleh kaisar Qin Shi Huang, pemrakarsa Tembok Besar Cina. Selanjutnya, dengan istilah yang berasal dari Qin itulah Cina dataran dikenal di luar Cina dan di seluruh dunia.

Perbandingan 'Cina' dengan 'Nigger' di Amerika Serikat oleh Prof Coppel rasanya kurang tepat. Mungkin istilah Cina ini lebih cocok dibandingkan dengan istilah 'Negro' dari pada 'Nigger'. Istilah 'Nigger' ini sebanding dengan istilah 'Cina mindring' atau 'Cina loleng' yang sudah disebut pula olehnya.
Seorang rekan warga Amerika Serikat menjelaskan istilah 'Negro' tidak lagi digunakan di Amerika Serikat sejak sekitar 30 tahun yang lalu, karena dianggap merendahkan. Selain itu, beberapa pemuka masyarakat menganggap istilah itu berhubungan dengan sejarah perendahan derajat bangsa Amerika keturunan Afrika. Turunan pejoratifnya, 'nigger' adalah kata yang menyinggung perasaan. Karena itu, bersamaan dengan munculnya gerakan Hak Asasi Manusia (Civil Rights Movement) tahun 1960an, di Amerika Serikat digunakan istilah 'Black American' untuk mengacu pada warga Amerika keturunan Afrika.
Kini, sebutan untuk warga Amerika keturunan Afrika yang  anggap benar secara politis (politically correct) adalah "African American", Namun, istilah 'Negro'  juga tetap digunakan dengan bangga oleh sebagian orang Amerika keturunan Afrika. Malah salah satu institusi warga keturunan Afrika Amerika yang paling tua dan dihormati, the United Negro College Fund, justru menggunakan istilah 'Negro', sejak didirikan tahun 1943.

Walaupun ibunya menganggap istilah 'Cina' yang lebih merendahkan, teman saya yang sudah saya sebut di awal tulisan ini justru menggunakan istilah 'Cina', justru karena menurutnya, "kita punya hak untuk menentukan makna kata panggilan itu, dan aku memilih untuk tidak mau menggunakan makna yang diberikan oleh 'mereka'. Aku menolak merasa terhina atau direndahkan ketika dipanggil 'Cina'."
Sebaliknya, justru sikap yang menganggap perlu memperhalus sebutan untuk warga Cina Indonesia sebagai 'Tionghoa' apalagi 'orang Chinese' bisa dianggap juga sebagai suatu jenis pembedaan sikap yang diskriminatif. Kenapa kalau menyebut orang Jawa atau Batak tidak perlu berpikir dua kali, tapi kalau mau meneyebut orang Cina, jadi harus menyebut dengan panggilan yang diperhalus, yaitu 'Tionghoa'? . Bukankah itu lantas membuktikan bahwa sikap penyopanan itu pun dikriminatif?
Dalam sebuah seminar, Romo I. Wibowo pernah mengingatkan bahwa etnis Cina di Singapura, yang bermaksud ingin melepas kaitannya dengan Cina Daratan atau Republic Rakyat Cina, justru menggunakan istilah "huaren" atau isitlah"Chunghua" tanpa acuan ke "Chung" (Cina Daratan). Ia menawarkan kemungkinan digunakannya istilah "suku hua" sebagai contoh. Namun sebaliknya penggunaan istilah "Tionghoa" sendiri (jadi bukan istilah Chunghua) tampaknya secara khas mengacu  pada keturunan Cina di Indonesia saja dan bukan pada Cina daratan, sehingga istilah itu sebenarnya tepat juga untuk menjadi sebutan pengganti "warga Indonesia keturunan Cina."
Seorang pengamat lain yang juga turut serta dalam perdebatan ini mengatakan "istilah Tionghoa dan Cina buat saya tidak jadi masalah, karena saya tidak merasa bedanya. Yang penting bukan istilahnya tetapi sikap si pengucapnya."
Sementara ini, mungkin jelas bahwa warga Cina Indonesia yang lebih tua kebanyakan cenderung memilih penggunaan istilah 'Tionghoa' sedangkan yang muda tidak terlalu mempermasalahkan penggunaan kata 'Cina'.

Walaupun sepertinya sepele, ternyata ada baiknya hal ini dibicarakan dan diperdebatkan lebih lanjut, agar kita mengerti betul mengapa kita gunakan istilah-istilah yang selama ini kita gunakan tanpa peduli tentang maknanya yang sebenarnya.