Kita pasti terheran-heran kenapa teman-teman dekat kita ternyata kok pilihan politiknya berbeda jauh dari kita. Kita heran dan kecewa karena kita sangka mereka seharusnya sama dengan kita.
Pada Pilpres ini memang kita dihadapkan dengan hal yang lebih mendasar dari cara kita berpikir, cara kita bertindak, dan cara kita bernegara, cara kita hidup dengan sesama, serta cara kita melihat hidup secara lebih luas. Sebelumnya, pilihan kita hanyalah yang terbaik dari yang terburuk. Kini, masing-masing merasa pilihan mereka yang terbaik, dan pilihan yang lain adalah pilihan yang terbaik. Masing-masing merasa inilah kesempatan kita untuk akhirnya dipimpin oleh orang dan mendapatkan pemerintahan yang paling sesuai dengan cara hidup kita.
Mungkin Pilpres ini memberikan kita suatu pandangan baru tentang teman-teman terdekat kita, atau akhirnya menyadarkan kita bahwa orang yang tadinya kita anggap teman baik, ternyata sangat berbeda dari kita. Semua tidak akan sama seperti dulu. Tapi mudah-mudahan, setelah Pilpres ini, siapa pun yang akhirnya jadi Presiden, kita bisa kembali berteman. Mungkin tidak akan kembali sebaik seperti dulu, tapi tetap berteman, apa pun bentuknya.
Bagi teman-teman yang pilihannya sama dengan saya, saya melihat ada tali pertemanan dan suatu semangat solidaritas yang sebelumnya tidak terlalu tampak, walau pun mungkin cikal bakalnya sudah ada. Saya berharap apa pun hasil Pilpres nanti, terutama ketika Jokowi-JK memimpin negara ini, solidaritas, semangat bahu membahu, serta kebersahajaan kita terus ada di dalam diri kita masing-masing. Kita harus ingat, bahwa ketika Jokowi menang, justru pekerjaan dan kerepotan kita akan bertambah. Bagi kita, menang di Pilpres nanti bukan berarti kita bisa nikmat suatu kemenangan, tapi justru ketika itulah kita akan mulai benar-benar kerja lebih keras untuk mendukung Jokowi JK menjalankan pengelolaan negara yang baik dan bersih, dan memastikan rakyat yang lebih sejahtera dalam segala bidang.
Mudah-mudahan kerja kita nanti kemudian ditengok oleh teman-teman kita yang mengecewakan kita dan membuat kita heran, dan akhirnya mereka pun melihat bahwa pilihan kita memang ternyata pilihan yang benar. Pasti tidak semudah itu, tapi mudah-mudahan terjadi!
Selasa, 24 Juni 2014
Rabu, 26 Maret 2014
Yang tua sebut
Tionghoa, yang muda sebut Cina!
oleh Amir Sidharta
[sebuah tulisan pasca kerusuhan 1998]
Akhir-akhir ini, ketika masalah Cina
kembali muncul di permukaan setelah kerusuhan 13-15 Mei 1998, panggilan Cina
atau Tionghoa juga menjadi perdebatan yang cukup seru di kalangan orang Cina
Indonesia sendiri.
Seorang yang menyebarkan formulir
pengaduan dan seruan/pernyataan sikap
Solidaritas Nusa Bangsa ke Menhankam/Pangab ke beberapa warga keturunan Cina, ternyata beberapa dari mereka mengatakan bahwa sebutan Cina itu lebih kasar. Mereka, lebih baik menggunakan istilah Tionghoa, karena lebih halus.
Solidaritas Nusa Bangsa ke Menhankam/Pangab ke beberapa warga keturunan Cina, ternyata beberapa dari mereka mengatakan bahwa sebutan Cina itu lebih kasar. Mereka, lebih baik menggunakan istilah Tionghoa, karena lebih halus.
Memang banyak orang, apakah ia keturunan
Cina atau pribumi, kadang-kadang kelihatan canggung menyebut kata 'Cina', dan
menghaluskannya dengan kata 'Tionghoa' atau bahkan ada yang beralih ke bahasa
Inggris, 'Chinese'.
Memang sebagian orang keturunan Cina,
terutama yang lebih tua, lebih suka penggunaan istilah Tionghoa ketimbang Cina.
Yang lebih muda, tidak terlalu mempermasalahkannya lagi. Seorang teman
mengatakan bahwa ibunya menganggap bahwa istilah 'Cina' itu merendahkan sekali.
Dalam D&R, edisi 4 Juli yang lalu, dilaporkan bahwa H.M. Yusuf Hamka,
pemimpin Masyarakat Pembauran Indonesia, juga menganggap pemakaian istilah
'Cina' itu bernada sinis, dan menuntut agar sebutan 'Cina' diganti dengan
'Tionghoa'.
Penggunaan istilah 'Cina' dan 'Tionghoa'
sebenarnya sudah dibahas oleh Charles Coppel dan Leo Suryadinata dalam artikel
yang kemudian diterbitkan dalam jurnal Papers
on Far Eastern History 2 (September 1970) pp. 97-118 (dan diterbitkan
kembali dalam buku karya Leo Suryadinata, The
Chinese Minority in Indonesia: Seven Papers, Chopmen, Singapore, 1978, pp.
113-128). Menurut mereka, secara linguistik, 'Cina' adalah istilah Melayu yang
lebih tua. Asalnya sama saja seperti kata Cina seperti kata 'China' dalam
bahasa Inggis.
Coppel mengatakan bahwa pada awal abad
ke-20 Cina peranakan dan orang Indonesia pribumi mengunakan istilah 'Cina' jika
berbicara dalam bahasa Melayu tanpa bermaksud menghina. Ketika Tiong Hoa Hwe
Koan (THHK) Batavia didirikan tahun 1900, lembaga itu mendirikan juga sekolah
Cina, yang diikuti pendirian sekolah-sekolah Cina di tempat-tempat yang lain di
Indonesia. Sambil mengacu pada foto para murid sekolah ini pada tahun 1904 dalam
buku karya Nio Joe Lan, Riwajat 40 Taon
dari Tiong Hoa Hwe Koan - Batavia (1900-1939), THHK, Batavia, 1940, p. 306,
pakar sejarah ini menunjukkan.bahwa THHK Batavia pada mulanya menyebut sekolah
ini 'Sekola Tjina'.
Coppel menghubungkan penggunaan kata
"Tionghoa" dengan tumbuhnya rasa nasionalisme Cina di antara orang
Cina di Indonesia pada dekade-dekade awal dari abad ini, terutama setelah
pembentukan Republik Cina tahun 1911. Orang Cina Indonesia (terutama di Jawa)
mulai mengacu pada diri mereka sendiri sebagai 'Tionghoa' dan kepada negeri
Cina sebagai 'Tiongkok'. Kata-kata ini berasal dari persamaan kata dalam bahasa
Hokkien dari Zhonghua/Chunghua dan Zhongguo/Chungkuo, yaitu istilah yang
digunakan sebagai bagian dari kebangkitan nasionalisme di Cina sendiri. Orang
Cina Indonesia juga mulai merasa dihina jika orang lain memanggil mereka
'Cina', rupanya karena hal itu diasosiasikan dengan penghinaan seperti 'Tjina
mindring' dan 'Tjina loleng'.
Rupanya, hal ini lebih terasa di Jawa di
mana sebagian besar Cina peranakan menetap. Sementara itu, penggunaan kata
'Tjina' secara tidak menghina rupanya
berlanjut di Sumatra dan Malaya. Penggunaan 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' sudah
menjadi mapan pada tahun 1930an, dan diangkat sebagai penggunaan yang sopan
bukan hanya oleh etnis Cina tapi juga oleh orang Indonesia pribumi. Pada tahun 1950an semua orang yang
menggunakan bahasa Indonesia (paling tidak di Jawa) melihat penggunaan istilah
'Tjina' sebagai penghinaan terhadap orang Cina.
Pergeseran kembali ke 'Cina' dalam penggunaan
umum muncul sebagai hasil dari keputusan Seminar ABRI di Bandung pada bulan
Agustus 1966. Hingga saat itu, hampir semua koran dan semua pejabat
pemerintahan menggunakan 'Tionghoa' dan 'Tiongkok'. Keputusan Seminar ABRi itu
dikonfirmasikan oleh Presidium Kabinet pada bulan Juli 1967, dan 'Tjina'
menjadi penggunaan standar dalam pemerintahan dan media selama perioda Orde
Baru, walaupun beberapa wartawan, harian dan penerbit tetap menggunkan
'Tionghoa'.
Coppel menganggap istilah
'Cina' mengandung konotasi negatif sebagaimana kata 'Nigger' bagi orang
Amerika Serikat keturunan Afrika. Karena itu, ia sendiri cenderung memilih
penggunaan 'Tionghoa' untuk mengacu pada orang Cina, karena banyak di antara
warga keturunan Cina yang masih merasa bahwa 'Cina' merupakan penghinaan.
Ketika Sinar Harapan menerbitkan terjemahan bukunya Indonesian Chinese in Crisis pada tahun 1994, ia mendesak agar
judulnya menjadi Tionghoa Indonesia Dalam
Krisis, dan bahwa kata 'Tionghoa' harus digunakan dalam keseluruhan buku itu,
kecuali jika ada kutipan dari sumber Indonesia yang menggunakan kata 'Cina'.
Menurutnya penggunaan 'Cina' yang
terlebih awal di Indonesia tidak lagi relevan. Yang justru harus diperhatikan
adalah sentimen anti-Cina yang mengakibatkan perubahan itu, pada tahun 1966/67.
"Jika mayoritas kulit putih di Amerika Serikat memutuskan untuk mendesak
penggunaan kata 'Nigger' bagi orang Amerika keturunan Afrika, karena itu adalah
penggunaan kata yang lebih dahulu dalam bahasa Inggris Amerika, dan karena kata
itu yang aslinya diturunkan dari sebuah kata Latin yang berarti 'hitam', semua
orang akan tahu bahwa alasan sebenarnya dari pengubahan itu tidak berhubungan
dengan sejarah maupun etimologi dan lebih berhubungan denga sentimen
rasis," jelasnya.
"Jika akan ada rekonsiliasi antara
etnis Cina dan Indonesia pribumi setelah horor dari kekerasan yang terjadi
belakangan ini terhadap etnis Cina, suatu keputusan dari pemerintah untuk
mengembalikan penggunaan sopan dari kata 'Tionghoa' akan menjadi simbol yang
sangat bagus dari kebulatan tekad untuk menguburkan diskriminasi anti-Cina dan
kekerasan secara tuntas," tambahnya.
Leon Agusta menceritakan pengalaman
pergaulannya dengan beberapa tokoh etnis Tionghoa yang dikenalnya sejak kecil
di Sumatra Barat. Kalau ia berbicara dengan Sofyan Wanandi --yang sebaya
dengannya‑- di warung, lumrah ia menggunakan istilah "Cina" sebagai acuan,
namun di forum yang lebih umum sifatnya, ia menggunakan istilah
"Tionghoa". Sedang jika berbicara
dengan P.K. Ojong yang lebih tua, tentu yang digunakannya adalah istilah
"Tionghoa".
Seperti kebanyakan teman-teman saya yang
tergolong muda, apakah mereka keturunan Cina ataupun pribumi, saya sendiri
cenderung memilih istilah 'Cina' ketimbang 'Tionghoa'. Bahkan, saya akan merasa
sanggat canggung untuk menjawab "saya orang Tionghoa' jika ada yang
menanyakan etnisitas saya. Saya akan jawab "saya orang Cina", dan
bukan 'orang Tionghoa', apalagi 'orang Chinese'. Karena sebenarnya arti kata
'Cina' itu sama dengan kata 'Chinese' dalam bahasa Inggris, saya tidak mengerti
kenapa banyak orang menganggap penggunaan istilah 'Chinese' itu lebih halus
daripada kata 'Cina'.
Mungkin juga istilah 'Cina' inilah justru
yang dapat dianggap lebih tepat karena istilah 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' yang
berasal dari bahasa Hokkien berhubungan dengan suatu nasionalisme Cina di
negeri Cina. Walaupun memang kebanyakan suku Cina di Indonesia adalah orang
Hokkien, bentuk istilah 'Tionghoa' sebagaimana digunakan di Indonesia bukanlah
bentuk yang juga digunakan oleh kelompok etnis Cina selain Hokkien di
Indonesia, sehingga istilah itu belum tentu dapat dianggap representatif bagi
semua warga Cina Indonesia.
Sedang etnis Cina secara internasional sekarang
menggunakan istilah 'Cina' yang sepadan dengan istilah 'Chinese' dalam bahasa
Cina atau Sino dalam bahasa Latin. Istilah ini awalnya dipakai untuk mengacu
pada warga sekitar sungai Kuning, yang pada abad ke-3 sebelum Masehi
dipersatukan di bawah wangsa terkuatnya,yaitu Ch'in (Qin) oleh kaisar Qin Shi
Huang, pemrakarsa Tembok Besar Cina. Selanjutnya, dengan istilah yang berasal
dari Qin itulah Cina dataran dikenal di luar Cina dan di seluruh dunia.
Perbandingan 'Cina' dengan 'Nigger' di
Amerika Serikat oleh Prof Coppel rasanya kurang tepat. Mungkin istilah Cina ini
lebih cocok dibandingkan dengan istilah 'Negro' dari pada 'Nigger'. Istilah
'Nigger' ini sebanding dengan istilah 'Cina mindring' atau 'Cina loleng' yang
sudah disebut pula olehnya.
Seorang rekan warga Amerika Serikat
menjelaskan istilah 'Negro' tidak lagi digunakan di Amerika Serikat sejak
sekitar 30 tahun yang lalu, karena dianggap merendahkan. Selain itu, beberapa
pemuka masyarakat menganggap istilah itu berhubungan dengan sejarah perendahan
derajat bangsa Amerika keturunan Afrika. Turunan pejoratifnya, 'nigger' adalah
kata yang menyinggung perasaan. Karena itu, bersamaan dengan munculnya gerakan
Hak Asasi Manusia (Civil Rights Movement) tahun 1960an, di Amerika Serikat
digunakan istilah 'Black American' untuk mengacu pada warga Amerika keturunan
Afrika.
Kini, sebutan untuk warga Amerika
keturunan Afrika yang anggap benar
secara politis (politically correct)
adalah "African American", Namun, istilah 'Negro' juga tetap digunakan dengan bangga oleh
sebagian orang Amerika keturunan Afrika. Malah salah satu institusi warga
keturunan Afrika Amerika yang paling tua dan dihormati, the United Negro
College Fund, justru menggunakan istilah 'Negro', sejak didirikan tahun 1943.
Walaupun ibunya menganggap istilah 'Cina'
yang lebih merendahkan, teman saya yang sudah saya sebut di awal tulisan ini justru
menggunakan istilah 'Cina', justru karena menurutnya, "kita punya hak
untuk menentukan makna kata panggilan itu, dan aku memilih untuk tidak mau
menggunakan makna yang diberikan oleh 'mereka'. Aku menolak merasa terhina atau
direndahkan ketika dipanggil 'Cina'."
Sebaliknya, justru sikap yang menganggap
perlu memperhalus sebutan untuk warga Cina Indonesia sebagai 'Tionghoa' apalagi
'orang Chinese' bisa dianggap juga sebagai suatu jenis pembedaan sikap yang
diskriminatif. Kenapa kalau menyebut orang Jawa atau Batak tidak perlu berpikir
dua kali, tapi kalau mau meneyebut orang Cina, jadi harus menyebut dengan
panggilan yang diperhalus, yaitu 'Tionghoa'? . Bukankah itu lantas membuktikan
bahwa sikap penyopanan itu pun dikriminatif?
Dalam sebuah seminar, Romo I. Wibowo
pernah mengingatkan bahwa etnis Cina di Singapura, yang bermaksud ingin melepas
kaitannya dengan Cina Daratan atau Republic Rakyat Cina, justru menggunakan
istilah "huaren" atau isitlah"Chunghua" tanpa acuan ke
"Chung" (Cina Daratan). Ia menawarkan kemungkinan digunakannya
istilah "suku hua" sebagai contoh. Namun sebaliknya penggunaan
istilah "Tionghoa" sendiri (jadi bukan istilah Chunghua) tampaknya
secara khas mengacu pada keturunan Cina
di Indonesia saja dan bukan pada Cina daratan, sehingga istilah itu sebenarnya
tepat juga untuk menjadi sebutan pengganti "warga Indonesia keturunan
Cina."
Seorang pengamat lain yang juga turut
serta dalam perdebatan ini mengatakan "istilah Tionghoa dan Cina buat saya
tidak jadi masalah, karena saya tidak merasa bedanya. Yang penting bukan
istilahnya tetapi sikap si pengucapnya."
Sementara ini, mungkin jelas bahwa warga
Cina Indonesia yang lebih tua kebanyakan cenderung memilih penggunaan istilah
'Tionghoa' sedangkan yang muda tidak terlalu mempermasalahkan penggunaan kata
'Cina'.
Walaupun sepertinya sepele, ternyata ada
baiknya hal ini dibicarakan dan diperdebatkan lebih lanjut, agar kita mengerti
betul mengapa kita gunakan istilah-istilah yang selama ini kita gunakan tanpa
peduli tentang maknanya yang sebenarnya.
Langganan:
Postingan (Atom)